Oleh
Firman Hadiansyah
Direktur Untirta Press
Pemuda memiliki kulturnya sendiri. Ia berusaha terbedakan dengan induk kulturnya. Ia menjadi subkultur. Kritis, kreatif dan berbahaya. Pemuda tidak hanya selesai pada urutan atau fase biologis yang mekanistis semata. Ia menjadi elan vital. Pencipta bara. Para pelukis masa depan.
Jika pemuda Indonesia di masa lampau berhenti berimajinasi tentang sebuah kemerdekaan, hari ini tidak pernah ada Indonesia.
Maka berterimakasihlah kepada Muhammad Yamin yang membuat puisi berjudul “Tumpah Darahku” yang ditulis pada tanggal 28 Oktober 1928. Jauh sebelum Indonesia benar-benar merdeka, cita-cita telah dikonkretisasi di dalam karyanya. Bahkan pada tahun 1922, Yamin telah membuat himpunan puisi berjudul “tanah Air” yang terdiri atas 30 bait.
Berterimakasihlah kepada Wage Rudolf Supratman yang menyayat senar biola yang dibuat Nicolaus Amateus Fecit di hadapan Kongres Pemuda. Kendati tanpa lirik, karena Belanda begitu takut dengan isi dari lirik tersebut, para peserta Kongres di Gedung Kramat 106 Jakarta tahu persis ada cita-cita yang sedang ditawarkan.
Kita harus berhutang budi kepada para peserta kongres pemuda dari berbagai daerah yang meluluhkan ego kedaerahannya sehingga terciptalah sihir kebangsaan yang masih terjaga keajaibannya hingga kini.
"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia."
"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia."
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”
Sembilan puluh tiga tahun kemudian, secara estafet para pemuda tetap menjaga sihir kebangsaan itu ke dalam begitu banyak saluran dan tetap mengusung kreativitas. Lebih bernas. Solid. Namun, tantang besar muncul di depan mata.
Yang Muda Yang Berbahaya
Pada tahun 2030, usia produktif di Indonesia mencapai 64-70%. Artinya secara usia, manusia Indonesia akan didominasi oleh para pemuda. Kita menyebutnya sebagai bonus demografi. Maka pola ekonomi, politik, dan ekosistem sosial jelas akan berubah drastis. Dari tradisi kepemimpinan, Indonesia harus memberikan ruang seoptimal mungkin bagi generasi berikutnya untuk terlibat dalam berbagai sektor. Usia produktif harus diberikan beban lebih untuk ditantang inovasi dan kreativitasnya. “Orang tua” dari segmen keluarga, masyarakat dan negara harus turut mendorong dan memberikan kepercayaan kepada generasi penerusnya. Jika hal ini tidak dilakukan secara dini, maka siap-siap kita nyalakan alarm tanda bahaya.
Dari masa ke masa, kita dapat menelusuri proses kehadiran pemuda dengan berbagai potensi dan persoalannya. Di satu sisi, pemuda sering diasosiasikan dengan kenakalan, penyimpangan, gegabah sekaligus biang onar. Dari mana perspektif itu muncul? Dari kebudayaan orang tua yang sudah menikmati kemapanan; sehingga ketika ada yang terbedakan, maka entitas itu dianggap sebagai penghalang bahkan aib. Padahal karakteristik pemuda memang selalu ingin mencoba sebagai hasrat dari keingintahuannya. Sangat natural. Justru menjadi berbahaya ketika di fase muda, ia takmengembangkan imajinya dan memilih lumer dengan kehendak kebudayaan orang tua yang serba kolot dan penuh dengan rumus-rumus petuah yang bisa hanya bermanfaat bagi zamannya dan menjadi usang di zaman selanjutnya. Dari pergesekan inilah resistensi anak muda muncul dan berkembang menjadi “youth culture” yang kemudian membedakan diri, melawan penuh gaya pada induk kulturnya.
Di sisi lain, pemuda direlasikan dengan “harapan bangsa”. Pemuda menjadi pemegang estafet dan secara natural dianggap sesuatu yang harus terjadi sehingga pola doktrinasi kebudayaan orang tua diselundupkan dengan alasan sustainability. Dengan pola ini, resistensi tetap muncul bahkan seperti teori gunung es yang tidak nampak namun sesungguhnya mengerak di alam bawah sadar. Sebagai contoh, ketika kita diminta menggambar pemandangan, maka yang muncul dalam imaji kita hanyalah visualisasi dua gunung dengan matahari yang membelahnya, dilengkapi dengan burung dan awan di atasnya. Padahal tema pemandangan sangat luas dan terbuka. Youth culture sedang mendobrak kesadaran bias itu dengan memberikan alternatif baru yang harusnya dipahami oleh budaya orang tua. Perubahan framing youth culture akibat era disrupsi harus diantisipasi cepat. Hari ini masyarakat Indonesia berkutat delapan jam setiap harinya di dunia maya dan sebagian besar dihuni oleh anak-anak muda. Maka cita-cita menjadi youtuber, pengembang aplikasi, musisi, dan subsektor ekonomi kreatif lainnya mulai banyak dilirik dibandingkan menjadi tentara, guru, insinyur atau pilot. Ini harus kita terima sebagai berkah, bukan musibah. Para pelaku industri kreatif harus diberikan ruang sebesar-besarnya.
Sejatinya, youth culture didasari oleh sikap kritis dan kreatif yang takbisa dipisahkan; seperti sisi koin yang sepertinya saling menegasikan padahal justru saling menguatkan. Kreativitas lahir dari sikap kritis; menelusuri keingintahuan, lalu mempraktikkan. Jika masih dianggap timpang dan terkesan gamang, maka ketimpangan dan kegamangan itu dapat menjadi bahan lanjutan untuk mewujudkan kreativitas yang lebih baru dan lingkaran itu dibentuk oleh sikap kritis. Terus-menerus seperti itu. Maka yang paling diusung adalah proses. Proses Kreatif. Bukan berhenti pada hasil. Siapa yang mengejawantahkan? Ada di tangan orang-orang yang berjiwa muda dan “berbahaya.”
Sikap kritis dan kreatif yang dimiliki oleh youth culture adalah bagian dari keterampilan abad ke-21, artinya sikap ini tidak boleh diberangus, justru harus terus dirayakan dan dikombinasikan dengan keterampilan lainnya yaitu komunikasi dan kolaborasi. Jika pada tahun 2030 usia produktif dominan tetapi tidak dibekali keterampilan abad ke-21 maka yang terjadi adalah terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial yang berdampak pada ketidaksiapan usia produktif berjibaku sehingga (lagi-lagi) terjebak ke dalam pola konsumerisme . Alhasil, alih-alih menjadi produktif, akan terjadi kebangkrutan massal di negeri ini. [*]